29 March, 2009

Pokoknya cerai, Titik!

Kata ini menjadi senjata pamungkas yang disampaikan seorang ibu di muka pengadilan. Baginya, tampaknya cerai menjadi kata kunci yang tidak bisa diganggu gugat. Harga mati. Seolah-olah semua jalan sudah tertutup. Tiada alternatif lain yang bisa digunakan untuk menyelesaikan pelbagai problem keluarga, bahkan secara kekeluargaan.

Memang agak merepotkan, ketika hal-hal yang selayaknya bisa diselesaikan secara baik-baik dengan kepala dingin harus diselesaikan dengan kepala dan hati panas. Inilah yang jadi persoalan. Dikiranya, pengadilan bisa menyelesaikan segala masalah. Padahal tidak. Pengadilan hanyalah ultimum remidium, alternatif terakhir, setelah segala upaya tidak bisa membantu pemecahan masalah.

Tidak jarang, pernikahan yang sudah dijalankan sekian tahun harus berakhir dengan cara yang tidak mengenakkan. Beberapa pihak tidak bisa menyelesaikan pelbagai persoalan, karena berorientasi pada nafsu. Mereka tidak lagi memikirkan bayi yang digendongnya. Apa yang akan terjadi dengan bayi itu di kemudian hari, saat keluarga sudah berakhir? Yang ada hanyalah hasrat, semuanya harus berakhir sesegera mungkin.

Tapi apakah dengan berakhirnya hubungan perkawinan, otomatis segala persoalan yang dihadapi berakhir dengan sendirinya? Belum tentu. Justru sebaliknya. Karena putusnya hubungan perkawinan, otomatis membawa putusnya hubungan keluarga akan membawa efek baru pada perubahan dan kegoncangan, tidak hanya di kalangan mereka, juga masyarakat di sekitar mereka.

Selayaknya, perceraian dijadikan sebagai penyelesaian terakhir setelah segala macam cara penyelesaian problem diupayakan. Perceraian selayaknya dipikirkan masak-masak. Barang kali sebuah keluarga perlu merenung dan memikirkannya selama beberapa hari sebelum mengambil keputusan cerai. Cobalah lakukan pisah ranjang terlebih dahulu, agar tahu rasanya bagaimana jika kemudian benar-benar jadi bercerai.

Coba perhatikan terlebih dulu kondisi anak-anak. Tidakkah kita berdosa ketika membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan tidak ada pendampingan dari keluarga yang utuh dan sempurna? Coba bayangkan anak itu adalah diri kita, adakah kita mau jika kita harus kehilangan keluarga? Bagaimana kita bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa kelak?

Adalah benar, secara hukum, pernikahan bisa diakhiri dengan perceraian ketika ada beberapa hal yang menjadi alasannya. Sesuai dengan KHI pasal 116, “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan [f] antara suami-istri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga”

Akan tetapi, hal-hal yang bisa diselesaikan dengan baik-baik selayaknya bisa diselesaikan dengan baik-baik pula. Kecuali kalau memang ada alasan serius yang benar-benar tidak bisa diselesaikan, seperti pasal 116 KHI, [a] salah satu pihak berbuat zina atau pemabuk, pemadat, dan lain sebagainya dan sukar disembuhkan.

Atau seperti yang disebutkan PP 9/1975 pasal 19 [b], “Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan:[b] salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama dua tahun berturut-turut tanpa ijin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.”

Dalam hal-hal ini, juga diperlukan ketegasan dalam mengambil keputusan. Dan keputusan yang diambil, jangan hanya karena nafsu, segala aspek yang berkaitan layak untuk dipertimbangkan, terutama berkait dengan masa depan anak (hadhanah), biaya hadhanah anak, dan harta bersama (gono-gini). Beberapa hal ini perlu dipertimbangkan masak-masak, terutama saat mengajukan surat gugatan cerai atau permohonan ikrar talak.

Hal ini agar ke depan jangan sampai terjadi persoalan lagi. Kecuali hal-hal di atas bisa diselesaikan secara baik-baik. Tapi pertanyaannya kemudian, jika persoalan gono-gini dan hadhanah anak bisa diselesaikan dengan baik-baik mengapa soal keluarga harus dicerai di muka pengadilan? Sekali lagi, perlu pertimbangan masak-masak.

Dalam pengajuan gugatan juga perlu diperhatikan, akan lebih baik jika hak-hak yang potensial disengketakan pasca perceraian juga diajukan sekaligus berbarengan dengan permohonan cerai. Hal ini akan menghemat waktu, tenaga, dan biaya.

Sampai di sini dulu, untuk informasi lebih lanjut, silahkan hubungi konsultanhukumku@gmail.com. Terima kasih.

20 March, 2009

Nikah Siri dalam Hukum Indonesia


-->Bapak pengasuh Konsultasi hukum yang terhormat.

Saya seorang perempuan, 20 tahun, mahasiswi di sebuah perguruan tinggi swasta di Semarang. Saat ini, saya sudah berpacaran dengan kakak angkatan, sebut saja Mas X sejak semester pertama hingga semester 6. Orang tua saya setuju dengan Mas X.

Keluarga Mas X juga bisa menerima saya. Hanya saja, ketika Mas X diminta keluarga saya untuk menikahi saya, ia menyatakan belum siap. Karena ia masih kuliah dan belum memiliki pekerjaan tetap. Ia khawatir jika tidak bisa menafkahi saya.

Tetapi, keluarga sudah tidak sabar lagi, karena khawatir dengan gaya pacaran kami yang di mata mereka tidak baik. Padahal, yang kami lakukan, juga banyak dilakukan remaja-remaja lain. Tapi akhirnya, karena desakan yang terus-menerus dari keluarga saya, akhirnya Mas X mau menikahi saya, tapi secara sirri pada akhir 2008 lalu.

Saya merasa tenang sekarang, karena secara agama status hubungan kami sudah berubah: suami isteri. Sehingga, tidak ada perzinahan. Itu kata Pak Ustad yang menikahkan kami. Tapi saya khawatir, karena pernikahan kami tidak dicatatkan di KUA. Kata kawan-kawan, pernikahan kami belum sah secara negara. Benar gak sih?

Jika tidak sah secara negara, lalu apakah kami melanggar undang-undang dan bisa dipenjara? Saya khawatir, jika suatu saat ada sesuatu, sementara kami tidak memiliki bukti tertulis. Karena kata kawan kami yang mahasiswa hukum, bahwa pembuktian itu harus pakai Akta Nikah. Padahal kami tidak punya itu.

Mohon Bapak berkenan memberikan solusi.

(perempuanjingga@xxxxxx.xx.xx di Semarang)