10 April, 2009

Ibu Dua Anak Diusir Mertua


-->
Yth pengelola
Weblog konsultanhukumku.blogspot.com

Saya seorang istri dengan 2 orang anak, 12 tahun dan 6 tahun. Semenjak saya menikah, saya tinggal di kediaman orang mertua di Solo. Selama itu, saya selalu menjadi isteri yang baik bagi suami, ibu yang baik buat anak-anak, dan menantu yang baik untuk mertua.

Tapi yang saya dapatkan justru di luar kehendak saya. Diam-diam, suami telah memiliki wanita idaman lain (WIL). Bahkan, ia sudah pernah berhubungan badan dengan perempuan tersebut, yang baru saja selesai kuliah di sebuah perguruan tinggi negeri di Solo. Hati ini hancur rasanya.

Yang lebih membuat hati ini tidak bisa menerima, adalah ibu mertua yang justru mendukung langkah suami saya yang berhubungan dengan perempuan itu. Padahal, usia pernikahan kami sudah 15 tahun. Selama itu, saya selalu mengalah, ketika ada benturan kepentingan antara saya dengan mertua.

Saya tidak habis pikir, ketika saya pada suatu hari diusir dari rumah oleh ibu mertua. Masalahnya sepele, hanya karena saya terlupa mengambil jemuran yang kehujanan saat ibu mertua bepergian. Saya merasa tidak bersalah, karena tertidur, bukannya sengaja membiarkan pakaian ibu mertua yang terjemur menjadi kehujanan.

Saya berusaha bersabar untuk tetap menerima perlakuan itu. Saat ini, saya kembali ke rumah orang tua saya di Semarang bersama putera kedua, yang saat itu tidak mau harus saya ajak. Sedang putera pertama saat itu sedang mengikuti kegiatan perkemahan pramuka di Kaliurang, Jogjakarta.

Jika seperti ini, langkah apa yang harus saya lakukan. Haruskah saya mengajukan gugatan cerai kepada suami saya? Atau bagaimana? Karena kakak dan keluarga saya sangat mendukung saya untuk itu. Mohon penjelasannya. Terima kasih.


*Identitas ada pada redaksi




Mbak yang baik. Saya turut prihatin dengan kondisi yang sedang mbak alami. Saya berharap, segera ada jalan penyelesaian secara baik-baik dan secara kekeluargaan. Karena hal inilah yang lebih efektif dan bermanfaat, serta tidak menimbulkan madhorot yang berkepanjangan.

Karena, penyelesaian di pengadilan adalah penyelesaian yang bersifat terakhir, setelah semua cara, termasuk kekeluargaan dan mediasi sudah gagal. Dan, perlu diperhatikan, penyelesaian di pengadilan membutuhkan banyak biaya (cost), berupa biaya finansial, waktu yang panjang, dan keputusan yang mengikat, dan belum tentu memberikan kepuasan kepada para pihak.

Coba di antara keluarga Ibu dengan keluarga suami ada sebuah pertemuan untuk menyelesaikan permasalahan ini secara baik. Istilahnya hakam, semacam arbriter secara sederhana. Semoga dengan cara seperti ini bisa lebih soft dalam menyelesaikan persoalan yang Ibu hadapi.

Namun demikian, jika cara ini sudah tidak efektif, tidak ada salahnya jika permasalahan ini dilarikan ke Pengadilan Agama, yakni Anda maju sebagai penggugat untuk mengajukan gugatan cerai, atau dalam bahasa fiqh disebut khulu’. Dengan cara ini, gugatan ibu akan diperiksa pengadilan untuk bisa dikabulkan atau tidak.

Masalahnya, jika Ibu yang mengajukan gugatan, saya khawatir, ibu justru dipandang kurang baik di mata pengadilan. Kekhawatiran ini wajar saja, karena bukankah yang memiliki hak dasar atas perceraian itu seorang suami? Nah, kalau seorang perempuan mengajukan gugatan perceraian, ini masih agak ditabukan, meski undang-undang memperkenankan.

Nah, nanti ketika Ibu mengajukan gugatan di pengadilan, Ibu harus membuktikan bahwa ibu berhak dan layak mengajukan gugatan cerai kepada suami. Inilah repotnya. Ibu harus bisa membuktikan bahwa suami ibu telah melakukan perbuatan tercela sehingga ibu diperkenankan mengajukan gugatan cerai.

Tentu ini merepotkan, dalam kondisi ibu yang saat ini tinggal di Semarang dan harus menghadirkan saksi tetangga ibu yang tahu kondisi ibu saat tinggal di Solo. Belum lagi Ibu harus membuktikan, bahwa kepergian Ibu dari rumah mertua bukan karena itikad yang tidak baik (minggat, atau nusyuz).

Jikalau Ibu mengajukan gugatan, yang memungkinkan untuk disertakan dalam gugatan adalah pertama nafkah terhutang, karena saya yakin, selepas Ibu pergi dari rumah mertua, praktis suami tidak memberikan nafkah kepada Ibu. Kedua, hadhanah atau hak anak, terutama yang sekarang bersama ibu, yang tentu saja belum baligh. Ketiga, harta gono-gini yang didapatkan selama masa pernikahan yang 15 tahun tersebut. Itu saja.

Sekarang, jika memang ibu mertua lebih cenderung kepada WIL suami, maka kepergian Ibu dari rumah ibu mertua boleh jadi membuka peluang untuk pendekatan di antara mereka secara lebih serius di antara ibu mertua, WIL dan suami Ibu. Ini perkiraan saya saja.

Boleh jadi, Ibu mertua akan segera menyarankan kepada anaknya (suami ibu) agar menikahinya. Ini hanya sebatas perkiraan saya, mengingat hubungan Ibu dan Ibu mertua yang tidak begitu baik, hingga ia tega mengusir menantunya sendiri dari rumah. Dan sampai saya menulis halaman ini, saya masih belum bisa memahami, mengapa ada ibu mertua yang sekejam itu?

Tapi dunia memang kadang berjalan tidak seperti yang kita harapkan. Karena itu, dalam kondisi seperti ini, jika benar bahwa suami Ibu sudah berhubungan badan dengan perempuan itu, maka boleh jadi ada semacam tuntutan dari perempuan itu untuk segera dinikahi oleh suami ibu.

Tentu ini akan merepotkan suami ibu. Karena, statusnya masih menjadi suami, yang karenanya, status pernikahan yang akan dilangsungkan dengan perempuan itu adalah pernikahan poligami, yang harus mendapatkan ijin dari ibu selaku istri (pertama). Jika suami ibu serius akan menikah secara resmi, KUA tentu tidak akan mengabulkan pencatatan atas pernikahan suami, sebelum mendapatkan ijin dari ibu, selaku istri (pertama).

Suami harus mengajukan permohonan ijin poligami di Pengadilan Agama Semarang, karena termohon, dalam hal ini Ibu, tinggal di Semarang. Atau, jika memang si suami sudah tidak lagi menghendaki Ibu, ia bisa mengajukan permohonan ikrar talak di Pengadilan Agama Semarang, yang juga karena termohon, dalam hal ini ibu tinggal di Semarang.

Nah, jika sudah demikian kondisinya, maka ini akan menguntungkan Ibu. Karena, Ibu tinggal mengajukan gugatan balik (rekompensi) kepada suami ibu. Dalam kasus gugat balik, Ibu tidak perlu repot-repot mendaftarkan gugatan dan segala hal yang merepotkan. Demikian juga, posisi ibu di pengadilan lebih kuat, karena dengan sendirinya, suami ibu telah menunjukkan “belang”-nya kepada majelis hakim di pengadilan.

Dalam kondisi ini, ibu bisa melampirkan gugatan perceraian, gugatan atas hak nafkah terhutang, hak hadhanah atas anak, harta gono-gini, biaya hadhonah (perawatan anak) hingga selesai S1, juga mut’ah. Dengan demikian, posisi ini akan lebih menguntungkan ibu secara hukum dan secara materi. Karena ibu bisa mendapatkan mut’ah, dan tidak membayar biaya proses pengadilan.

Dan sebatas pembacaan saya atas apa yang ibu sampaikan di atas, saya melihat kondisi ibu yang cukup tertekan dan terdzolomi. Karena itu, saya menyarankan agar ibu menunggu dengan sabar, karena tampaknya suami Ibu tidak lama lagi pasti akan melayangkan surat ke Pengadilan.

Semoga penjelasan ini bermanfaat. Jika ibu masih mengalami kesulitan, silahkan hubungi saya via e-mail: konsultanhukumku@gmail.com. 

Salam hangat,


M. Nasrudin, SHI

No comments:

Post a Comment