08 September, 2009

Suami Kasar, Istri Minta Cerai (I)

Yth Pengasuh

Saya seorang wanita dengan dua anak perempuan yang berusia 2 dan 4 tahun. Saya sama sekali tidak mengetahui hukum. Maka dari itu ingin bertanya kepada Bapak mengenai proses perceraian. Kenginan saya bercerai timbul setelah mengarungi bahtera rumah tangga bersama suami selam lebih kurang 4 tahun.

Selama 4 tahun itu, saya selalu dimaki oleh suami dengan kata-kata kotor setiap harinya. Jika ada sesuatu yang tidak mengena di hatinya, maka saya akan dimaki. Walaupun sekarang dia tidak berani memukul ku karena saya pernah mengancam untuk bercerai dengannya. Tapi, Pak yang membuat saya tidak tahan hidup dengannya adalah dia sering mabuk-mabukan dan sering memakiku dengan kata kotor.

Bahkan, kadang dia bilang bahwa saya tidak ada apa-apa tanpa dia. Itu yang kadang membuatku tidak percaya diri.Yang saya ingin tanyakan kepada Bapak, Apakah ada undang-undang yang mengatur jika suami sering menghina sang istri..dan saya tidak punya uang untuk membayar pengacara, karena suami tidak penah memberi uang..

Ke manakah saya harus mencari seorang yang bisa membantu dan mendampingiku ketika mengurus masalah perceraian ini? Saya ada di daerah Medan, beragama Buddha.Terima kasih

Ibu di Medan



Yth. Ibu
di Medan

Terima kasih saya sampaikan, karena Ibu berkenan berbagi dengan saya. Semampu saya, saya akan membantu.

Secara pribadi, saya turut prihatin atas masalah yang Ibu hadapi. Tapi saya yakin, Ibu termasuk orang-orang yang tegar dalam menghadapi dan menyelesaikan segala persoalan.

Begini, Bu. Membaca persoalan yang Ibu tuturkan kepada saya, perlu saya sampaikan kepada Ibu, bahwa perceraian adalah jalan terakhir, ketika segala cara sudah ditempuh dan hasilnya nihil. Coba dipikirkan sekali lagi, jika ibu benar-benar akan bercerai, bagaimana nasib anak-anak, yang masih sangat butuh kasih sayang dari kedua orangtuanya?

Perlu dicatat, efek perceraian tidak hanya akan menimpa Ibu dan suami,karena anak-anak justru menjadi pihak yang paling banyak menerima efek negatifnya. Perceraian tidaklah dengan serta-merta menyelesaikan segala masalah. Justru sebaliknya, perceraian akan menambah masalah baru. Masalah yang mungkin muncul adalah (rebutan) hak asuh anak, apakah ikut suami atau Ibu.

Jika pengadilan memutuskan bahwa hak asuh anak berada pada suami, Apakah suami siap mengasuh anak? Menilik perilaku suami yang seperti ibu ceritakan tadi, suka mabuk-mabukan dan suka memaki. Apakah Anda siap membiarkan anak hidup dan berkembang dalam di bawah asuhan ayah yang seperti itu? apakah Anda rela berpisah dengan sang buah hati?

Kalaupun nantinya pengadilan memutuskan bahwa hak asuh anak berada di tangan ibu, secara psikis, tidak ringan membesarkan anak dalam kondisi single-parent. Kalaupun Anda siap, belum tentu kedua puteri Anda siap secara psikis. Mereka belum bisa memahami apa yang terjadi pada keluarga mereka. Memang betul, dalam Undang-undang No 1 tahun 1974 tentang perkawinan menegaskan bahwa tanggung jawab nafkah dan pendidikan anak menjadi beban suami, meskipun telah bercerai. Tapi apakah proses pemberian nafkah dari suami kepada anak hingga anak dewasa merupakan hal yang mudah?

Sekali lagi, coba perhatikan kondisi anak-anak. Tidakkah kita berdosa ketika membiarkan anak-anak kita tumbuh dengan tidak ada pendampingan dari keluarga yang utuh dan sempurna? Coba bayangkan anak itu adalah diri kita, adakah kita mau jika kita harus kehilangan keluarga? Bagaimana kita bertanggung jawab kepada Tuhan Yang Maha Esa kelak? Belum lagi soal (sengketa) harta gono-gini atau harta bersama. Itulah beberapa hal yang patut untuk dipertimbangkan.

Kalau diperkenankan, saya perlu mengusulkan agar dibentuk forum antar-keluarga. Anda bisa meminta bantuan Paman, Kakak, atau Kakak ipar yang Anda dan Suami segani untuk menengahi permasalahan yang Anda dan Suami hadapi. Boleh jadi, hadirnya pihak ketiga ini akan menjadi persoalan baru. Tapi, jika orang ketiga ini adalah orang yang Anda dan Suami segani dan ia lebih bijak, semoga bisa membantu.

Usahakanlah untuk menyelesaikan segala permasalahan secara kekeluargaan. Perlu dicatat pula, bahwa pernikahan yang dulu Anda bangun bersama suami, bukanlah hubungan antara Anda dan suami, dua orang belaka. Tapi juga hubungan antara dua keluarga. Maka, Anda juga harus meminta pendapat dan bantuan keluarga untuk menyelesaikan masalah ini. Saya pikir, ini adalah alternatif yang lebih aman, ketimbang harus berhadap-hadapan di muka pengadilan.

Kalaupun cara kekeluargaan dan semua usaha sudah dicoba, namun hasilnya nihil, barulah Anda bisa mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Medan (karena Anda dan Suami tinggal di Kota Medan). Sepanjang yang saya tahu, dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan pasal 39 ayat (2), menegaskan bahwa perceraian bisa dilakukan hanya jika antara suami dan istri benar-benar sudah tidak bisa didamaikan.

Sekali lagi, perceraian adalah alternatif terakhir.

Jika Anda ragu dan kurang paham tata cara mengajukan gugatan ke pengadilan, Anda bisa menghubungi Lembaga Bantuan Hukum, atau pengacara/advokat terdekat di kota Ibu. Anda tidak perlu khawatir jika Anda tidak memiliki uang, karena dalam Undang-undang No 18 tahun 2003 tentang Advokat, seorang pengacara atau advokat punya tanggung jawab untuk memberikan bantuan hukum secara cuma-cuma (asas prodeo) kepada para pihak yang membutuhkan. Silahkan Anda mengajukan permohonanbantuan hukum dengan asas prodeo. Saya yakin, mereka akan membantu Anda.

Semoga penjelasan saya bisa bisa membantu.

Jika masih ada hal yang perlu Anda tanyakan, jangan sungkan untuk menghubungi saya kembali.

Terima kasih.


Salam hangat,
Jogja, 6 September 09

M. Nasrudin, SHI
konsultanhukumku@gmail.com

1 comment:

  1. Saya setuju dengan saran pak Nasrudin...
    Kalau memang masih bisa kekeluargaan lebih baik..saya punya cerita ada wanita yang ditinggal suaminya selama 2 tahun tanpa nafkah bathin dan lahir. kemudian si wanita minta cerai namun dipersulit oleh suaminya. siwanita pakai pengacara dan sudah habis jutaan rupiah hasilnya malah dipermainkan, padahal dia hanya ingin hidup tenang dan nyaman tanpa bayang2 suaminya.

    ReplyDelete