06 September, 2009

Sirri Dulu, Baru Studi...

Yth Bpk Pengasuh
Di tempat

Selamat siang, Pak.

Pak, sekarang saya tengah menjalin hubungan cinta dengan cowok saya. Ia seorang PNS. Dalam waktu dekat, ia mendapatkan beasiswa dari instansinya untuk melanjutkan studi di sebuah Perguruan Tinggi di Jawa.

Jujur, Pak, sebagai seorang perempuan, saya khawatir akan ditinggalkan oleh dia. Apalagi di Jawa katanya banyak cewek yang cantik-cantik. Kami kan sudah sangat saling mencintai sejak lama. Saya ingin agar hubungan kami bisa terus tetap berjalan.

Tapi ini, Pak. Keluarga dia katanya belum siap kalau kami menikah. Katanya, ia masih terlalu muda. Lagi pula, karirnya sedang memuncak. Cowok saya juga khawatir, setelah ia menikah, ia tidak bisa memberikan nafkah, terutama nafkah batin karena kami akan tinggal terpisah selama 4 tahun.

Saya sempat usulkan agar kami nikah siri dulu, dengan perjanjian bahwa kami akan menikah secara resmi setelah 4 tahun kemudian. Yang saya ingin tanyakan, apa yang harus saya lakukan untuk membuat perjanjian itu? Soalnya saya khawatir, kalau tidak dibikin surat perjanjian, cowok saya ini lari dari tanggung jawab.

Apa yang harus saya lakukan, Pak? Mohon penjelasannya ya, Pak.

Samarinda, 28 Agustus 2009
Hormat saya,

Perempuan




Yth Mbak Perempuan di Samarinda.

Terima kasih telah bersedia berbagi kisah dengan saya. Semampu saya, akan saya bantu. Sepanjang pengamatan saya atas apa yang Mbak sampaikan kepada saya, saya kok merasa bahwa pernikahan sirri bukanlah solusi yang tepat untuk permasalahan yang sedang Mbak alami.

Kenapa? Pertama, bahwa cowok Anda (katakanlah calon suami Anda, adalah seorang PNS). Dalam peraturan yang saya pahami, pernikahan PNS harus dilaksanakan dengan aturan tertentu dan juga harus dilaporkan kepada atasan ybs di instansi tempat ia bekerja. Hal ini berkait dengan persoalan tunjangan istri yang dibebankan kepada negara. Tehnis pelaporannya seperti apa, titip pesan kepada calon suami Anda (sebut saja Mas XX) untuk menanyakan kepada atasannya atau bagian kepegawaian di instansi Mas XX.

Sekarang begini, jika Anda melakukan pernikahan siri dengan Mas XX, maka pernikahan Anda tidak bisa dicatatkan di kantor catatan sipil atau KUA jika Anda berdua beragama Islam. Dengan demikian, pernikahan tersebut tidak bisa dilaporkan kepada atasan Mas XX, karena tidak ada bukti otentik, dalam hal ini adalah Akta Nikah. Dan Anda tidak bisa mendapatkan tunjangan sebagai istri Mas XX yang PNS itu.

Kedua, kita tidak tahu apa yang bakal terjadi selama 4 tahun ke depan. Bolehlah Anda berdua, setelah menikah sirri, selalu menggunakan alat kontrasepsi saat bersebadan. Namun siapa yang bakal menjamin bahwa Anda tidak akan hamil sampai menikah secara resmi dan tercatat. Jika Anda hamil, dan anak Anda tersebut lahir di luar pernikahan resmi-tercatat, maka anak Anda, sesuai pasal 42 UU No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, tidak termasuk ke dalam anak sah.

Dengan demikian, anak tersebut hanya memiliki pertalian nasab dengan ibu biologisnya. Ia tidak punya hubungan nasab dengan ayah biologisnya. Inilah yang cukup merepotkan. Karena, Kantor Catatan Sipil (KCS) tentu tidak akan begitu saja mengeluarkan Akta Kelahiran, jika ternyata Anda tidak bisa melampirkan kutipan Surat Nikah. Belum lagi, proses pembuatan Akta Kelahiran di KCS untuk kasus seperti ini prosedurnya tidak sederhana.

Sekarang, ihwal perjanjian dalam perkawinan. Dalam perkawinan, sebetulnya diperkenankan adanya perjanjian. Perjanjian bisa dibuat dengan perjanjian di bawah tangan, atau dibuat di hadapan notaris yang mewilayahi. Isinya bisa beragam, sesuai kesepakatan. Namun hemat saya, sebaiknya Anda tidak perlu menghadap notaris demi membuat surat perjanjian bahwa Anda akan dinikahi Mas XX setelah sekian tahun, pasca nikah sirri. Sebetulnya, perjanjian yang diadakan dalam pernikahan yang tercatat di KUA-KCS, Undang Undang No 1 tahun 1974 tentang Perkawinan, pasal 29 memperkenankan dan bahkan mengharuskan pencatatan pada waktu itu juga.

Kenapa? Dari penjelasan yang Anda paparkan kepada saya, saya kok menangkap bahwa keengganan pihak keluarga Mas XX atas pernikahan Anda berdua hanyalah berdasar informasi yang diberitakan oleh Mas XX. Sepanjang yang saya tangkap dari penuturan Anda, tampaknya belum ada pembicaraan serius antara kedua belah keluarga. Karena, ketika Anda mengatakan sikap keluarga Mas XX, Anda hanya mengutip dari ungkapan Mas XX. Tepatnya, selama ini pembicaraan hanya berlangsung antara Anda dan Mas XX, belum sampai pada pembicaraan keluarga Anda dengan keluarga Mas XX.

Perlu dicatat, bahwa pernikahan bukanlah sekedar urusan dua orang, antara Anda dengan Mas XX. Lebih dari itu, pernikahan adalah juga urusan dua keluarga: keluarga Anda dan keluarga Mas XX. Cobalah dorong kedua keluarga untuk mengadakan pertemuan guna membahas persoalan yang Anda berdua hadapi. Sekiranya keluarga Mas XX belum siap untuk mengadakan pernikahan dalam jangka dekat, setidaknya di antara kedua keluarga sudah ada kesepahaman untuk membangun tali pernikahan.

Nah, ketika sudah ada kesepahaman dalam ihwal adanya pernikahan, tahap selanjutnya adalah tinggal membuat kesepakatan dalam hal waktu pelaksanaan. Jika belum bisa dilaksanakan tahun ini, silahkan disepakati untuk dilaksanakan berapa tahun kemudian. Dengan demikian, Anda sudah bisa tenang. Karena meskipun Mas XX pergi ke Jawa dalam waktu lama, sudah ada jaminan dari Mas XX dan keluarga, bahwa ia akan menikahi Anda beberapa tahun kemudian.

Jika sudah demikian, maka yang harus Anda lakukan selanjutnya adalah menyiapkan diri dan keluarga Anda untuk melangsungkan pernikahan Anda beberapa tahun ke depan. Silahkan rancang program kehidupan Anda. Keterampilan yang bisa menunjang perekonomian keluarga juga perlu untuk Anda kuasai. Demikian juga, kesiapan mental perlu Anda asah. Anda punya waktu untuk itu.

Demikian penjelasan saya. Semoga bermanfaat.
Salam hangat dari Jogja,


M. Nasrudin, SHI

No comments:

Post a Comment