01 June, 2015

Membedakan Hukum Islam, Syariah, Fikih, dan Kanun



Di kalangan masyarakat umum, ada tiga istilah dalam tradisi Islam yang seringkali dipahami secara rancu. Ketiga istilah ini adalah hukum Islam, syariah, dan fikih. Ada kalanya orang menyebut hukum Islam, tetapi yang ia maksud adalah fikih. Ada pula orang yang menggunakan istilah syariah tetapi yang ia maksud adalah fikih. Padahal ketiganya adalah entitas yang berbeda.

Sementara itu, istilah keempat (kanun) jarang disebut oleh masyarakat, kecuali masyarakat Aceh. Dalam penyebutan di kalangan masyarakat Aceh, istilah ini hampir tidak dijumpai persoalan salah pemahaman. Hal ini karena istilah kanun sudah lazim digunakan sesuai dengan konteks yang benar oleh pemerintah dan masyarakat.


Syariah
Syariah dalam pengertian bahasa adalah jalan setapak, jalan tempat air mengalir, atau jalan menuju mata air. Dalam tradisi kajian Islam, syariat adalah sekumpulan garis besar ajaran Islam yang mengatur peri kehidupan seorang muslim. Karena ia adalah garis besar, maka syariat ini memuat mulai dari tauhid (kajian ketuhanan), akhlak (etika), tasawuf (aspek esoteris), hingga fikih.

Dari pemahaman ini kita jadi mengerti bahwa ruang lingkup syariah sangatlah luas. Demikian ini menurut pengertian yang umum dalam tradisi keislaman. Adalah benar bahwa ada beberapa ulama di kalangan ahli fikih yang memiliki pandangan agak berbeda, misalnya menggunakan istilah syariah sebagai substitusi fikih, tetapi ini hanya penggunaan terbatas. Namun prinsip dasarnya: syariah adalah garis besar ajaran Islam dalam segala aspek, mulai eksoteris hingga esoteris.



Fikih
Seperti disinggung di muka fikih hanyalah salah satu bagian dari syariat. Fikih dalam pengertian bahasa Arab adalah pemahaman (al-fahm). Sedang dalam pengertian kajian Islam fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan hukum-hukum yang berlaku bagi setiap mukallaf (muslim, akil, balig) yang disarikan dari sumber-sumber dan dalil-dalil melalui metode istinbath (penggalian hukum) dan diatur secara terperinci.

Sumber dan dalil fikih ada banyak, tetapi bisa diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, sumber atau dalil naqli dan aqli. Yang pertama adalah naqli yang berasal dari nukilan al-Quran dan al-Hadits. Sedang yang kedua adalah aqli atau ra’yu yang merupakan penalaran logika. Di sini nanti muncul istihsan, istishab, qiyas, ijma’, dan sebagainya.

Fikih secara garis besar bisa diklasifikasikan ke dalam dua macam: ibadah dan muamalah. Ibadah adalah segala hal yang terkait dengan pengabdian seorang hamba (baca: mukallaf) kepada Tuhannya. Jadi fikih mengatur bagaimana kita bagaimana bersuci, salat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya. Apa saja syarat rukun puasa, bagaimana puasa yang sah diatur dalam fikih ini.

Sedangkan muamalah adalah aspek kehidupan yang mengatur kehidupan antara satu orang dengan orang lain. Hal-hal yang diatur mulai dari transaksi jual beli (bay’); sewa-menyewa (ijarah); penggarapan lahan (muzara’ah dan mukhabarah); peminjaman (‘ariyah); segala pernik hukum keluarga mulai dari nikah, talak, rujuk, cerai, dan waris (al-ahwal as-syahsiyah); urusan pemerintahan dan administrasi tata negara (siyasah), pidana (jinayah), dan sebagainya.

Karakter fikih pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia. Oleh sebab itu, ia menjadi beraneka warna dan rupa berdasarkan pada tempat, waktu, dan kreativitas para fukaha (ahli fikih). Masing-masing fukaha mengembangkan kajian fikih menjadi semakin spesifik dan kokoh. Muncullah sekolah-sekolah atau mazhab-mazhab dalam fikih. Mazhab atau model fikih biasa dinisbatkan kepada para pemikir utama atau pendirinya. Mazhab syafii didirikan oleh Imam Muhammad bin Idris as-Syafi’i, mazhab hambali oleh Imam Ahmad bin Hanbal, mazhab Hanafi oleh Imam Hanafi, mazhab Maliki oleh Imam Malik bin Anas, mazhab zahiri oleh Imam Abu Dawud adz-Dzahiri, mazhab ja’fari oleh Imam Ja’far Shadir.

Ada ratusan mazhab dalam fikih di berbagai wilayah. Namun dalam perkembangannya, hanya sedikit yang mampu bertahan hingga kini. Yang paling populer di kalangan sunni adalah empat mazhab pertama. Sementara mazhab ja’fari sebagian besar dianut oleh kalangan syiah. Mazhab-mazhab lain punah atau melebur dengan mazhab yang lebih populer. Misalnya mazhab zahiri yang melebur dengan mazhab hambali. Belakangan, ada pula yang mencoba keluar dari frame mazhab ini dengan berupaya mengekstrak fikih langsung ke sumbernya: Quran dan Hadits. Tapi bagaimana pun juga, lantaran ini adalah sebentuk pola berpikir, pada akhirnya ia membentuk mazhab sendiri yang sering disebut mazhab salaf.


Kanun
Bagi masyarakat muslim, fikih bersifat alternatif. Artinya, kita boleh memilih di antara salah satu mazhab yang tersedia. Boleh mengambil mazhab hanafi, hanafi, maliki, syafii, atau ja’fari. Tidak ada yang paling benar atau paling salah dalam mazhab-mazhab ini secara general. Mazhab yang satu tidak lebih baik ketimbang mazhab yang lain secara general. Sehingga para pendiri mazhab cenderung saling terbuka. Misalnya ada ungkapan dari Imam Syafii yang sangat terkenal, bahwa pendapatku mungkin benar, tetapi boleh jadi mengandung kesalahan. Sementara pendapat mazhab lain mungkin salah, tetapi boleh jadi mengandung kebenaran.

Lantaran sifat fikih yang bersifat alternatif, maka fikih bersifat nisbi dan relatif, bahkan nyaris mutlak. Inilah yang menyebabkan negara kerepotan jika berhadapan dengan fikih karena negara membutuhkan pedoman dan pijakan hukum yang pasti. Itulah kenapa negara membutuhkan fikih yang baku yang bisa diaplikasikan dan dijadikan rujukan dalam bermasyarakat dan bernegara. Maka dari berbagai mazhab dan pemikiran fikih yang banyak itu negara memformulasikannya dalam proses politik di parlemen untuk merumuskan fikih versi negara yang baku dan formal.

Maka hadirlah fikih mazhab negara yang kemudian disebut dengan kanun (qanun). Jadi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah, Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dlsb yang mengandung unsur fikih dan mengatur peri kehidupan umat Islam dalam aspek keislaman adalah kanun. Di Aceh, istilah kanun digunakan untuk menyebut produk hukum yang ditelurkan oleh DPR Aceh dan Pemerintah Aceh yang mengatur peri kehidupan muslim di Aceh.


Hukum Islam
Istilah hukum Islam atau al-hukm al-islam tidak ditemukan dalam tradisi Islam klasik. Istilah ini muncul belakangan sebagai terjemahan bebas dari mohammadens law atau islamic law. Kedua istilah ini dalam tradisi islamic studies yang tumbuh di Barat sering digunakan untuk merujuk pada istilah fikih atau syariah.

Sementara itu dalam tradisi kajian Islam di Indonesia, istilah hukum Islam lebih sering digunakan untuk merujuk kanun atau fikih. Misalnya di fakultas hukum atau syariah, hukum Islam sering digunakan untuk merujuk pada UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU Pengelolaan Zakat, Perda bernuansa Syariah, atau Kanun Aceh. Dalam penggunaan yang agak jarang, hukum Islam juga digunakan untuk merujuk pada fikih.

Jadi, sudah jelas kan beda keempat istilah ini?



M. Nasrudin, SHI, MH

No comments:

Post a Comment