Di kalangan masyarakat umum, ada tiga istilah dalam tradisi
Islam yang seringkali dipahami secara rancu. Ketiga istilah ini adalah hukum
Islam, syariah, dan fikih. Ada kalanya orang menyebut hukum Islam, tetapi yang
ia maksud adalah fikih. Ada pula orang yang menggunakan istilah syariah tetapi
yang ia maksud adalah fikih. Padahal ketiganya adalah entitas yang berbeda.
Sementara itu, istilah keempat (kanun) jarang disebut oleh
masyarakat, kecuali masyarakat Aceh. Dalam penyebutan di kalangan masyarakat
Aceh, istilah ini hampir tidak dijumpai persoalan salah pemahaman. Hal ini karena
istilah kanun sudah lazim digunakan sesuai dengan konteks yang benar oleh
pemerintah dan masyarakat.
Syariah
Syariah dalam pengertian bahasa adalah jalan setapak, jalan
tempat air mengalir, atau jalan menuju mata air. Dalam tradisi kajian Islam, syariat
adalah sekumpulan garis besar ajaran Islam yang mengatur peri kehidupan seorang
muslim. Karena ia adalah garis besar, maka syariat ini memuat mulai dari tauhid
(kajian ketuhanan), akhlak (etika), tasawuf (aspek esoteris), hingga fikih.
Dari pemahaman ini kita jadi mengerti bahwa ruang lingkup
syariah sangatlah luas. Demikian ini menurut pengertian yang umum dalam tradisi
keislaman. Adalah benar bahwa ada beberapa ulama di kalangan ahli fikih yang memiliki
pandangan agak berbeda, misalnya menggunakan istilah syariah sebagai substitusi
fikih, tetapi ini hanya penggunaan terbatas. Namun prinsip dasarnya: syariah adalah
garis besar ajaran Islam dalam segala aspek, mulai eksoteris hingga esoteris.
Fikih
Seperti disinggung di muka fikih hanyalah salah satu bagian
dari syariat. Fikih dalam pengertian bahasa Arab adalah pemahaman (al-fahm).
Sedang dalam pengertian kajian Islam fikih adalah ilmu yang berkaitan dengan
hukum-hukum yang berlaku bagi setiap mukallaf (muslim, akil, balig) yang
disarikan dari sumber-sumber dan dalil-dalil melalui metode istinbath
(penggalian hukum) dan diatur secara terperinci.
Sumber dan dalil fikih ada banyak, tetapi bisa
diklasifikasikan ke dalam dua bentuk, sumber atau dalil naqli dan aqli.
Yang pertama adalah naqli yang berasal dari nukilan al-Quran dan al-Hadits.
Sedang yang kedua adalah aqli atau ra’yu yang merupakan penalaran
logika. Di sini nanti muncul istihsan, istishab, qiyas, ijma’,
dan sebagainya.
Fikih secara garis besar bisa diklasifikasikan ke dalam dua
macam: ibadah dan muamalah. Ibadah adalah segala hal yang terkait dengan
pengabdian seorang hamba (baca: mukallaf) kepada Tuhannya. Jadi fikih mengatur
bagaimana kita bagaimana bersuci, salat, puasa, zakat, haji, dan seterusnya.
Apa saja syarat rukun puasa, bagaimana puasa yang sah diatur dalam fikih ini.
Sedangkan muamalah adalah aspek kehidupan yang mengatur
kehidupan antara satu orang dengan orang lain. Hal-hal yang diatur mulai dari
transaksi jual beli (bay’); sewa-menyewa (ijarah); penggarapan
lahan (muzara’ah dan mukhabarah); peminjaman (‘ariyah); segala
pernik hukum keluarga mulai dari nikah, talak, rujuk, cerai, dan waris (al-ahwal
as-syahsiyah); urusan pemerintahan dan administrasi tata negara (siyasah),
pidana (jinayah), dan sebagainya.
Karakter fikih pada dasarnya adalah hasil pemikiran manusia.
Oleh sebab itu, ia menjadi beraneka warna dan rupa berdasarkan pada tempat,
waktu, dan kreativitas para fukaha (ahli fikih). Masing-masing fukaha mengembangkan
kajian fikih menjadi semakin spesifik dan kokoh. Muncullah sekolah-sekolah atau
mazhab-mazhab dalam fikih. Mazhab atau model fikih biasa dinisbatkan kepada
para pemikir utama atau pendirinya. Mazhab syafii didirikan oleh Imam Muhammad
bin Idris as-Syafi’i, mazhab hambali oleh Imam Ahmad bin Hanbal, mazhab Hanafi
oleh Imam Hanafi, mazhab Maliki oleh Imam Malik bin Anas, mazhab zahiri oleh
Imam Abu Dawud adz-Dzahiri, mazhab ja’fari oleh Imam Ja’far Shadir.
Ada ratusan mazhab dalam fikih di berbagai wilayah. Namun
dalam perkembangannya, hanya sedikit yang mampu bertahan hingga kini. Yang
paling populer di kalangan sunni adalah empat mazhab pertama. Sementara mazhab
ja’fari sebagian besar dianut oleh kalangan syiah. Mazhab-mazhab lain punah
atau melebur dengan mazhab yang lebih populer. Misalnya mazhab zahiri yang melebur
dengan mazhab hambali. Belakangan, ada pula yang mencoba keluar dari frame
mazhab ini dengan berupaya mengekstrak fikih langsung ke sumbernya: Quran dan
Hadits. Tapi bagaimana pun juga, lantaran ini adalah sebentuk pola berpikir,
pada akhirnya ia membentuk mazhab sendiri yang sering disebut mazhab salaf.
Kanun
Bagi masyarakat muslim, fikih bersifat alternatif. Artinya, kita
boleh memilih di antara salah satu mazhab yang tersedia. Boleh mengambil mazhab
hanafi, hanafi, maliki, syafii, atau ja’fari. Tidak ada yang paling benar atau paling
salah dalam mazhab-mazhab ini secara general. Mazhab yang satu tidak lebih baik
ketimbang mazhab yang lain secara general. Sehingga para pendiri mazhab
cenderung saling terbuka. Misalnya ada ungkapan dari Imam Syafii yang sangat
terkenal, bahwa pendapatku mungkin benar, tetapi boleh jadi mengandung
kesalahan. Sementara pendapat mazhab lain mungkin salah, tetapi boleh jadi
mengandung kebenaran.
Lantaran sifat fikih yang bersifat alternatif, maka fikih
bersifat nisbi dan relatif, bahkan nyaris mutlak. Inilah yang menyebabkan
negara kerepotan jika berhadapan dengan fikih karena negara membutuhkan pedoman
dan pijakan hukum yang pasti. Itulah kenapa negara membutuhkan fikih yang baku
yang bisa diaplikasikan dan dijadikan rujukan dalam bermasyarakat dan bernegara.
Maka dari berbagai mazhab dan pemikiran fikih yang banyak itu negara memformulasikannya
dalam proses politik di parlemen untuk merumuskan fikih versi negara yang baku
dan formal.
Maka hadirlah fikih mazhab negara yang kemudian disebut
dengan kanun (qanun). Jadi, Undang-Undang, Peraturan Pemerintah,
Peraturan Menteri, Peraturan Daerah, dlsb yang mengandung unsur fikih dan
mengatur peri kehidupan umat Islam dalam aspek keislaman adalah kanun. Di Aceh,
istilah kanun digunakan untuk menyebut produk hukum yang ditelurkan oleh DPR
Aceh dan Pemerintah Aceh yang mengatur peri kehidupan muslim di Aceh.
Hukum Islam
Istilah hukum Islam atau al-hukm al-islam tidak
ditemukan dalam tradisi Islam klasik. Istilah ini muncul belakangan sebagai terjemahan
bebas dari mohammadens law atau islamic law. Kedua istilah ini
dalam tradisi islamic studies yang tumbuh di Barat sering digunakan
untuk merujuk pada istilah fikih atau syariah.
Sementara itu dalam tradisi kajian Islam di Indonesia,
istilah hukum Islam lebih sering digunakan untuk merujuk kanun atau fikih. Misalnya
di fakultas hukum atau syariah, hukum Islam sering digunakan untuk merujuk pada
UU Perkawinan, UU Perbankan Syariah, UU Pengelolaan Zakat, Perda bernuansa
Syariah, atau Kanun Aceh. Dalam penggunaan yang agak jarang, hukum Islam juga digunakan
untuk merujuk pada fikih.
Jadi, sudah jelas kan beda keempat istilah ini?
M. Nasrudin, SHI, MH
No comments:
Post a Comment